
Butiran mutiara itu mulai jatuh memenuhi bumi ini, perlahan lalu menempel
diatap-atap rumah,dedauanan dan diatas lautan pasir. Hanya saja mutiara
itu enggan bersatu dengan daun talas, entah apa yang membuat mereka tak
pernah mau bersatu, namun dengan begitulah embun dan daun talas terlihat
indah, butiran mutiara yang jatuh itu cukup membuat kibasan angin terasa
dingin,perlahan sang fajar mulai menampakkan kegagahannya, untuk sejenak
aku terhanyut pada cakrawala langit itu mataku menatap tajam seolah langit
menawarkan sebuah harapan yang pasti, harapan dengan akhir membahagiakan
yang dapat dikenang hingga terlelap dipusaran nya kelak. Lalu aku tengok kembali
kebelakang sebuah pintu flat yang berada di gedung paling atas bangunan
ini, orang mesir biasa menyebutnya sa’ah syutuh atau rumah atap, flat ini
menawarkan sebagian keindahan dari kota Dar eL-Malak karena setiap kali keluar
dari flat aku langsung bisa memandang panorama kota tua maupun menjelajahi
Pagi itu dingin, seperti pagi-pagi yang lalu terasa menyenangkan dan membuat
lautan pasir itu terasa lebih bersahabat dengan butiran pasirnya. Aku menghela
nafas panjang jemariku pelan menyentuh dinding kaca berembun. Dingin seketika
menyeruap diujung jari mengalir ke telapak tangan melalui pergelangan terus
menjalar ke siku, bahu, kemudian sampai pada hatiku, bagaikan sayatan pisau
Dari lantai empat ini, lantai tertinggi di flat ku, aku bisa melihat tiga toko buku
paling besar di kota ini, dua toko roti yang tak pernah sepi pengunjung apalagi
memasuki jam makan siang dan makan malam, selalu penuh dengan pengunjung
karena roti adalah makanan faforit di kota ini atau mungkin rasa rotinya yang
memang lezat. Tak mau kalah dengan toko roti, ditoko buku banyak pula orang-
orang yang berkunjung, toko di depan flatku adalah toko buku paling besar dan
paling lengkap, lantas saja jadi rujukan para pemburu buku entah membeli atau
sekedar melihat-lihat, toko itu selalu ramai.
Di flat ini pula aku bisa melihat jalan utama di kota Dar eL-Marak jalan yang
penuh lalu lalang kendaraan, namun untuk pagi ini jalan itu masih terasa sepi
hanya ada beberapa mobil yang melintas. Wajar saja waktu menunjukkan pukul
04.00 menjelang subuh , mungkin satu jam lagi akan ramai. Disisi jalan ada tiang
lampu yang sudah redup sayup-sayup seakan enggan menyala mungkin memang
sudah waktunya mengganti, tiang lampu itu ada disetiap beberapa meter
dipinggir jalan ditambah dengan tanaman yang rapi tertanam pada pot-pot yang
cukup besar yang menghiasi jalan, meskipun tak terlalu rimbun namun cukup
membuat jalan terasa lebih nyaman dan lampu putih bundar itulah yang terlihat
lebih indah ketika berbaur dengan siluet cahaya lampu mobil yang melintas.
Di sudut kamar ini aku bisa merasakan sajian keindahan yang ditawarkan kota
ini, dengan jendela kaca yang lurus menghadap jalan cukup membuatku nyaman
selama 7 tahun trakhir ini, kamar yang senantiasa menemaniku dalam setiap peluh
yang kuteteskan ketika aku mengingat sosok yang kucintai, lamunan ku pagi ini
mengantarku membuka memory masa silam yang hampir ingin ku lupakan tapi
begitu sulit, bayangan sosok ‘dia’ muncul dalam benakku perlahan mengingatkan
ku tentang bagaimana aku bisa sampai disini, dikota yang tak pernah ku
bayangkan untuk dapat menginjakkan kaki ditanah penuh barokah ini tanah para
nabi. Begitu jauh dari tanah air tercinta Indonesia, dia memberiku mimpi yang
begitu mudah untuk ku rajut dan kulakukan, dia memberi janji kehidupan yang
jauh lebih baik dia adalah alasan mengapa aku bisa bertahan di dunia ini dengan
Bagaimana kisah pertemuan ku dengan dia?
Sore itu di bus ber-merk kompaja yang kutumpangi, tiga minggu sebelum
dia mengenalku. Hujan turun deras mengguyur kota Jakarta, memaksaku
mengeluarkan suara yang lebih kencang lagi dan kakakku Doni memetik gitar
lusuhnya dengan semangat, walau sebenarnya kami leti[Ih dan lapar, namun demi
receh yang akan kami belikan obat untuk ibu dan untuk membeli sesuap nasi, itu
memaksa kami terus melakukan nya, agar ibu cepat sembuh dari sakit nya ya,,,
walau tak sembuh setidaknya mampu meringankan sakit yang dirasa ibu.
Sore kami perlahan berganti malam entah pergi kemana soreku tadi, semua
terasa begitu cepat buat kami, masih didalam kompaja yang kunaiki tadi bersama
kakak ku,setelah slesai menyanyi kini waktunya membuka kantong bekas permen
kiss yang sudah sangat lusuh untuk menampung receh demi receh dari para
penumpang, saat ku sodorkan katong lusuh ku, ada yang benar-benar ikhlas
memberikanya ada pula yang pura-pura tidur agar tidak usah susah payah
merogoh receh dari tas mereka, sebenarnya aku tau mereka hanya menutup mata
dan tidak benar-benar tidur, tapi ya sudahlah ini sudah resiko jadi pengamen.
Tidak lama kompaja yang kami tumpangi berhenti, memaksa kami untuk turun dan
pindah ke metro mini yang lain, kini giliran bus trans yang kami naiki dan tak lama
aku berjalan dalam bus, tiba-tiba kaki ku terasa aneh, perlahan kuangakat kaki
ku untuk memastikan tak terjadi hal yang buruk pada kakiku. Ternyata dugaanku
salah ooh...Tuhan kaki ku tertancap paku dan darah segar mengalir tanpa henti
dari telapak kakiku, entah bagaimana bisa paku itu bersarang tepat dibawah
telapak kaki ku, yang jelas ini terasa sangat perih seketika itu pula aku merintih
lirih selirih mungkin berharap kak Doni tak mendengar rintihanku.
“aduuuh,,,’ (lirih ku berucap) namun percuma aku berusaha tak terlihat kesakitan
tetapi kak doni tetap melihat raut wajah ku yang pucat pasi karena menahan
sakit, bukan karena mendengar rintihanku.
“dek,kamu kenapa kuk pucet bgitu,uda capek ya?” kak doni bertanya sambil
menoleh ke arah ku, tak tahan aku menahan rasa sakit jujur saja aku bilang sama
“kaki ku kak tiba-tiba sakit,” jawabku lirih
“mana kak doni liat,”(sambil mengangkat kaki kiri ku) “wah ini kena paku dek
darahnya banyak sekali tahan sebentar ya, habis pemberhentian didepan kita
Orang-orang disekitar kami hanya menoleh tak peduli, seakan acuh dengan
keberadaan kami, yang lebih tepatnya mungkin keberadaan kami meganggu
kenyamanan mereka saat naik bus. Tapi tak lama kemudian dari arah belakang
ada seorang laki-laki yang berpenampilan rapi, serapi orang yang bekerja
dikantor, terang saja mana ada buruh pabrik berdasi dan serapi itu sungguh
mustahil bukan, jadi ku ambil kesimpulan dia adalah orang kantoran yang baru
pulang kerja, postur tubuh yang tinngi wajah yang diatas rata-rata dan bisa
dibilang ganteng ditunjang dengan penampilan serapi itu sungguh dia benar-benar
menawan, dia memanggil kami dan perlahan mendekat.
“dek,,,tunggu”? dia berteriak memberi pertanda agar kami berhenti
“kakak ini mau apa?” tanya kak doni
“boleh kakak liat kaki adekmu,kakak hanya ingin obati kaki adik mu itu,tadi kakak
liat kakinya berdarah, tidak lama kuk mungkin hanya 5 menit saja,”?tanya nya
Ternyata ada saja orang yang peduli mau memperhatikan kami. Sejenak kak
doni berpikir sebelum mengiyakan permintaan kakak rapi itu, mungkin kak doni
berfikir tak apalah orang ini membantu adikku dari pada nanti lukanya makin
“ia kak boleh,tapi mau diapain kaki adikku?
“sini duduk dulu” pintanya padaku, aku mengikuti titahnya dalam situasi seperti
ini aku tak bisa berfikir macam-macam kecuali rasa sakit yang ku rasakan malam
ini. Dia menyiramkan sebotol air mineral pada kaki ku dengan perlahan kemudian
mengambil sapu tangan dari saku baju nya lantas melilitkannya pada kaki ku yang
tertusuk paku, seketika berkurang rasa perih yang ku rasakan,, huuuft lega
“sudah tidak terlalu sakitkan? Tanyanya padaku, yang saat itu sudah mulai bisa
tersenyum karena berkurang nya rasa sakit.
“ia kak,” aku mengangguk mengiyakan,
“boleh tau nama adek-adek ini siapa dan umur berapa?
Kakak ku memperkenalkan diri pada kakak rapi yang menolongku, “Doni Ardianto
umur 13 tahun dan adek ku ini bernama Zida Salsabilla 9 tahun,” bgitulah kak
“nama yang bagus,” kakak rapi itu tersenyum dan memuji nama kami kemudian
lanjut bertanya “adek ini mau turun mana,biar kakak antar pulang, ini sudah
sangat larut malam bahaya kalo anak-anak diluar rumah pada jam sgini? Pintanya
Dia benar-benar menjadi malaikat kami pada malam itu, dengan baik hati
mengobati kakiku dan mengantar kami pulang ke rumah, lebih tepatnya bukan
rumah tapi gubuk karena berada persis dibawah jembatan yang hanya beralaskan
kardus bekas dan spanduk sisa kampanye para tetinggi dewan perwakilan
rakyat (DPR), yang rakyat kecil seperti kami hanya mampu menerima janji-janji
manisnya dan spanduk bekas mereka, lumayan dari pada hanya omong kosong yang
kami terima spanduk ini jauh lebih bermanfaat bagi kami sebagai alas tidur.
Kakiku memang belum sembuh benar tapi aku sudah memaksakan diri untuk
membantu kak doni untuk mengais rejeki di ibu kota dengan gitar lusuhnya, kak
doni dan ibu sudah melarang ku untuk tidak ikut mengamen siang itu, melihat
kakiku yang belum sembuh benar mereka takut nanti jadi tambah parah jika aku
tidak mau istirahat dirumah, sebenarnya yang mereka takutkan bukanlah kaki ku
yang terluka tapi, uang dari mana untuk pengobatan andaikan kakiku tak kunjung
sembuh malah jadi tambah parah, untuk makan saja kami kesusahan, bahkan
adakalanya kami puasa, hampir lebih sering kami puasa dari pada tidak, apalagi
untuk hal-hal yang lain sungguh kami tak sanggup. Dengan penuh antusias aku
meyakinkan mereka kalau kakiku sudah tak terlalu sakit lagi, aku bisa membantu
Empat tahun lalu kehidupan keluarga kami tidak seburuk ini aku mempunyai ayah
dan kehidupan yang bahagia, saat ayah masih hidup kami tak perlu susah payah
untuk mengamen dari bus ke bus, dari lampu merah satu ke lampu merah yang lain
nya. Semua tak akan terjadi jikalaulah ayahku masih hidup, ayah adalah seorang
pengusaha properti yang lumayan berhasil pada waktu itu, tapi karena persaingan
pasar dan ayah tertipu oleh rekan bisnisnya kami mengalami kebangkrutan yang
luar biasa, rumah beserta isinya disita oleh pihak bank ayah tak lagi mempunyai
pekerjaan, aku dan kak doni berhenti dari sekolah dan kami pun pindah dari
rumah kami sendiri secara tidak terhormat, andaikan waktu pengusiran itu usia
ku sudah cukup dewasa kupastikan mereka menerima bogeman(tonjokan) dari
tangan ku, sayang sekali waktu itu kak dony masih berumur 9 tahun sedangkan
aku 5 tahun, aku belum terlalu paham dengan masalah yang ada waktu itu.
Dengan uang seadanya ayah dan ibu mengontrak rumah di daerah padat
penduduk, rumah yang tak begitu besar hanya ada tiga ruangan didalam nya satu
kamar tidur, satu kamar mandi dan ruang tamu sekaligus dapur. Tak begitu buruk
untuk takaran rumah padat penduduk rumah ini cukup nyaman untuk melepas
lelah dan berteduh dari terikanya matahari kota jakarta.
Kami memulai kehidupan baru tidak dengan kemewahan akan tetapi dengan
kesederhanaan, ayah mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan sedangkan ibu
buruh cuci dirumah tetangga, aku dan kak doni pindah sekolah di daerah sekitar
rumah yang kami kontrak, ayah tak pernah putus asa, selalu tersenyum dan ikhlas
menerima semua cobaan, begitu juga ibu selalu menghibur kami tatkala jenuh
melanda, terkadang bosan rasanya hanya berdiam diri dirumah tanpa hiburan
bahkan tv saja kami tak punya, aku sering mengeluh bertanya kepada ayah kapan
kita pulang kerumah?... dan ayah selalu menjawab dengan sabar pasti pulang
dek... nanti kalo ayah sudah punya banyak uang kita beli rumah yang jauh lebih
besar dari rumah kita dulu, beli boneka yang banyak yang dedek suka lantas ayah
menceritakan banyak cerita lucu untuk menghibur kami itu salah satu cara ajiab
ayah untuk membuat anak-anak nya tersenyum.
Dua tahun berlalu kami hidup di kontrakan, ayah mulai sakit-sakitan tidak mampu
lagi untuk bekerja kasar kami hanya mengandalkan ibu, mulai dari beli obat
untuk ayah,makan untuk kami dan biaya sekolah aku dan kak doni semua ibu yang
menanggungnya sungguh ibu yang luar biasa. Perlahan sakit itu menggerogoti
tubuh ayah lambat laun ayah tak sanggup lagi untuk menahan rasa sakit itu,
ayah enggan untuk dirujuk ke R.S dengan alasan biaya. Sudah jelas ayah tak mau
merepotkan ibu lebih dalam lagi, ayah sudah merasa cukup membuat ibu banting
tulang setiap hari biarlah Tuhan yang menyembuhkan ujar ayah suatu ketika,
melihat keadaan ini aku merasa sangat sedih berharap ayah lekas sembuh dan
bisa bercerita lagi seperti sewaktu sehat dulu ya,,, walaupun saat sakit seperti
ini ayah tetap memberikan cerita lucunya akan tetapi terasa kurang.tak lama
Ayah ku meninggal itulah jawaban dari Tuhan untuk semua doa-doa ku ayah ingin
istirhat disisi Tuhan, tak ingin melihat ayah ku menahan sakit terlalu lama lantas
Tuhan mengambilnya itulah hak veto yang dimiliki oleh Tuhan, tak ada yang tau
umur manusia kecuali Tuhanya. Kehidupan ini begitu berat ku jalani tanpamu
ayah, perlahan ibu juga mulai sakit-sakitan tak mampu bekerja seperti dulu, ibu
tak sanggup lagi membayar kontrakan ibu memilih pergi meninggalkan kontrakan,
kami pergi tanpa tujuan yang jelas, selama kami tak memiliki rumah dan pergi
dari kontrakan kami tidur di emperan toko, mengais rejeki dengan mencari
sampah, dari tempat sampah di depan rumah-rumah, toko-toko dan TPS (tempat
pembuangan sampah) bahkan makan pun kami mengambilnya dari tong sampah
sungguh ironis memang kehidupan kami kala itu, sampai kami menemukan tempat
untuk tidur yaitu di bawah kolong jembatan tidak hanya kami tapi ratusan orang
lainya yang tidak jauh senasib dengan kami tak sanggup membeli rumah atau
bahkan menyewa kontrakan sudah dipastikan kami tak sanggup. Jalan alternatif
yang sangat murah adalah dibawah jembatan walau dengan berbagai resiko, dari
diusir paksa oleh satpol pp, tempat ini juga sudah jelas sarang penyakit, teramat
kumuh, sampai waktu hujan datang bisa dipastikan pula tempat ini tak ada yang
utuh smua lenyap tersapu air banjir atau sekedar terkena tetesan air dari langit
akan membuat semua yang ada hilang karna memang tempat kami berteduh hanya
dilindungi oleh kardus bekas saja.
Kehidupan baru ku dimulai kembali bukan sebagai bangsawan atau warga biasa
akan tetapi sebagi pemulung, sekolah ku dan kakdoni dipastikan berhenti, saat itu
kak doni kelas 5 SD dan aku kelas 1 SD kehidupan semakin keras memaksa kami
untuk melakukan segala cara untuk bertahan hidup membuang jauh-jauh cita-
cita tinggi kami dan membuang rasa malu. Malu???? Sudah lenyap dari diri kami
mempertahankan rasa malu mungkin kami tidak akan makan barang sesuap nasi
sekalipun, ayah pernah berpesan padaku dan kak doni untuk tidak malu melakukan
apapun kecuali hal itu merugikan orang lain serta selama kita tidak mencuri.
Jangan pernah malu untuk hal baik, lebih mulia kita makan dari tong sampah dari
pada makan uang haram seperti para koruptor itu, berdasi tapi makanan nya
makanan haram semua. Aku ingat cerita itu dari ayah sungguh ayah memang luar
Dan sampailah aku bertemu dengan kakak rapi itu kakak yang menjadi malaikat
kami pada malam itu, kak Radit ya... naman lengkapnya Raditya Al-Farabi, nama
yang modren plus islami begitu indah seindah wajah dan hati nya benar-benar
sempurna. Sejak kejadian dalam metro mini itu kak Radit rutin mengunjungi kami
di gubuk reot ini dengan membawa makanan yang enak dan membawa buku-buku
cerita untuk kami baca alhasil aku dan kak doni sangat bahagia, lama kami tak
memegang buku, maklum saja tak ada waktu untuk itu kami sibuk dengan gitar
dan kencrengan masing-masing, dan sekarang kak Radit datang memberi kami
kebahagiaan dan harapan baru itu, kak Radit memberi usul kepada ibu untuk
menyekolahkan kami kembali kak Radit yang akan menanggung semua biaya nya
ibu hanya menangis haru mendengar kak Radit bertutur seperti itu.
Pagi itu aku dan kak doni mandi membersihkan diri dari debu-debu kota
jakarta,aku dan kak doni memang jarang mandi karna air dijakarta mahal lebih
baik buat beli makanan uang nya dari pada dibuang-buang untuk skedar mandi
saja, sedangkan ibu sibuk menyiapkan pakaian terbagus kami ya,, walaupun
sudah bertahun-tahun lalu belinya dan dipakai tatkala ada acra peting saja, tapi
sungguh itu baju paling bagus yang kami miliki, memang benar hari ini hari spesial
buat ku dan kak doni. Karena kami akan daftar sekolah dan belanja peralatan
sekolah semua biaya ditanggung kak Radit, aku dan kak doni luar biasa bersyukur
telah dipertemukan dengan kak Radit. Waktu itu kak doni masuk kelas 1 SMP
sedangkan aku kelas 4 SD sekolah kami berdampingan tak begitu jauh jadi
setiap pagi kami berangkat bersama-sama aku adalah murid yang pandai dulu
sewaktu masih sekolah kak doni juga selalu jadi juara kelas dijamin tidak rugi
jika membiayai kami untuk sekolah, kak Radit juga mengusulkan aku dan kak
doni untuk mengaji agar kami tidak hanya pandai umum tetapi agama juga, tapi
sayang dilingkungan kami tidak ada tempat buat mengaji aku dan kak doni mau-
mau saja, lantas kak Radit mengusulkan untuk pindah mengotrak rumah dan lagi
lagi kak Radit yang membiayai nya. Kami pindah dari lingkungan kumuh itu, kami
mengontrak sebuah rumah, kehidupan ku dimulai kembali kini aku dan kak doni
bersekolah dan mempunyai tempat yang layak untuk tinggal, kak Radit melarang
kami untuk mengamen, kak Radit memberi modal ibu untuk berjualan kue jadi
tugas ku dan kak doni adalah menjual kue-kue hasil buatan ibu ke tetangga dan
kue-kue itu juga dititipkan diwarung-warung deket rumah, kehidupanku membaik
perlahan tapi pasti smua berkat kak Radit, aku bahagia....
Sekolah lancar,kue buatan ibuku juga berkembang pesat penjualannya bahkan
kami menerima pesanan untuk pernikahan atau acara lain nya, benar saja kue
buatan ibu ku enak sekali, waktu kami pergunakan dengan sebaik-baik nya, pagi
hari kami brangkat sekolah skaligus membawa kue buatan ibu untuk dititipkan di
warung-warung, siang hari pulang sekolah skaligus mengambil uang hasil penjualan
kue sore harinya kami mengaji dimasjid deket kontrakan dan malam harinya kami
belajar, sibuk memang tapi kami bahagia. Malam itu kak Radit datang berkunjung
ke kontrakan, kami berbincang-bincang hingga larut malam.
Kak Radit menceritakan banyak hal termasuk tentang kehidupan nya ternyata
kak Radit tumbuh besar dilingkungang pesantren abahnya mempunyai pondok dan
skaligus menjadi pemimpinya, tak heran namanya modren skaligus islami Raditya
Al-Farabi yang membuat ku heran kuk bisa seorang gus jauh dari pesantren,
umumnya kan seorang gus berada dipesantren mengurusi santri nya bergulet
dengan smua yang berbau dengan agama, sedangkan kak Radit dia malah asyik
dengan dunianya jauh dari pesantren hidup dikota besar dan bekerja dikantor.
Kak Radit memang berbeda dari kebanyakan gus-gus yang ada, dia tidak
membanggakan nama abah nya sebagai seorang Kiayi besar yang semua santri
harus tunduk padanya dan memanggil nya dengan gelar Gus, Gus Radit, dia tidak
mengharapkan gelar itu yang dia harapkan santri-santri abah nya yang menimba
ilmu dipesantren dapat mengaplikasikan semua ilmu yang didapatkannya dalam
kehihupan dengan sebaik-baiknya, prinsip hidup kak Radit memang keren, aku
salut dengan kepribadian kak Radit. Walau jauh dari lingkungan pesantren akan
tetapi kak radit tetap menjunjung tinggi nilai agama, sholat lima waktu tak
pernah putus, puasa senin kamis, sholat sunah lainya juga rajin sekali apalagi
waktu mengaji/qira’at merdu sekali suaranya, kak Radit dijakarta juga punya
kegiatan bersama teman-teman nya mencerdaskan bangsa tidak dari pelajaran
umum saja tetapi agama juga penting itu kata kak Radit, makanya kak Radit
nyuruh aku dan kak Doni buat rajin-rajin buat mengaji biar makin lancar. Kak
radit beserta teman-temannya mendirikan rumah singgah buat para anak
jalanan,pengamen dan pengemis, di rumah singgah itu mreka diajari tentang
banyak hal dari ketrampilan mendaur ulang barang-barang bekas, diajari seni
musik, diajari baca-tulis dan yang penting diberi siraman rohani, blajar
mengaji,sholat,puasa dan apapun yang menyangkut tentang agama. Umur kak
Radit waktu itu 26 tahun kak doni 15 tahun dan aku 13 tahun, kak doni lulus SMP
dengan nilai yang paling bagus waktu itu kak radit amat bangga padanya, tentang
bagaimana kelanjutan sekolah kak doni. Kak radit mengusulkan untuk nyantri dan
“memang nya ada kak? Mondok sambil sekolah?” tanya kak doni
“ada kuk,kamu mondok dipesantren abah kak radit saja di jogja biar nanti smua
keperluan pindah yang mengurus kak radit, kurang dua tahun lagi Zida juga lulus
bisa nyusul kamu ke pesantren,ibu juga nanti bisa ikut pindah ke jogja, kakak
jamin doni pasti betah, bgaimana doni mau?.”
“deal, doni setuju kak.” Mantap kak doni menjawab, aku benar-benar bertemu
malikat mu Tuhan bagaimana bisa ada orang sebaik ini di dunia, ya Allah smuga
engkau benar-benar melindunginya amin (doaku dalam hati).
Sewaktu kak doni lulus SMP aku baru kelas 1 SMP, kak doni berangkat ke jogja
untuk nyantri dan meneruskan sekolanya, di Jakarta tinggallah aku dan ibu saja,
berat memang harus melepas kak doni pergi tapi ini demi masa depan kak doni
dan masa depan kami. Kehidupan kami berjalan seperti biasanya walau sedikit
sepi tanpa kehadiran kak doni, pekerjaan yang biasa kulakukan bersama kak doni
kini kukerjakan seorang diri, kak doni rutin mengirim surat buat kami sepertinya
kak doni benar-benar menikmati masa-masa nyantrinya di jogja dari semua
surat yang dia kirim hampir semua menceritakan kebahagiaan nya disana. Walau
tergambar jelas kesedihan karena jauh dari kami,ya...kak doni merindukan kami,
kak doni bercerita waktu buat tidur sedikit sekali semua diisi dengan kegiatan,
Dari bangun pukul 03.00 dini hari untuk melakukan sholat tahajut dan hafalan
ayat-ayat suci al-qur’an diteruskan sampai subuh menjelang untuk sholat subuh
berjamaah, kemudian mengaji kitab sampai pukul 06.00 kemudian siap-siap
untuk berangkat sekolah sampai jam 14.00 sholat dzuhur dilakukan dimadrasah
sepulang sekolah makan kemudian berangkat kembali untuk ngaji kitab sampai
ashar tiba kemudian sholat berjamaah, lantas setoran hafalan yang dilakukan
subuh tadi magrib tiba sholat berjmaah kembali,selepas isya’ kak doni baru bisa
belajar pelajaran sekolah, kak doni terhitung murid yang pandai dan cerdas
disekolah maupun dipesantren begitulah isi surat kak doni begitu detail semua
kegiatan kak doni membuatku iri terang saja aku iri kak doni terus belajar dan
belajar sedangkan aku harus kerja keras bantuin ibu, tapi tak apalah tunggu saja
zida pasti segera menyusul kak doni dan akan jauh lebih pandai dari kak doni
(batinku berjanji ), kak radit juga sering jenguk kak doni di pesantren waktu kak
radit pulang dari jogja pasti bawain surat dari kak doni, karena memang selama 2
tahun disana kami tak pernah menjenguk kak doni, kata kak radit tak perlu, doni
baik-baik saja disana ibu dan zida dijakarta saja kalo ada rejeki disempen nanti
buat pindahan ke jogja ujar kak radit, ibu dan aku mengiyakan saja aku tau semua
yang dipilihkan untuk kami adalah yang terbaik.
Waktu tak terasa begitu cepat berlalu kini usia ku sudah 15 tahun dan aku sudah
lulus SMP tak mau kalah dengan kak doni nilai ujian ku juga tertinggi disekolah
waktu itu, kini saatnya aku dan ibu nyusul kak doni ke jogja. Tak sabar menunggu
hari kepindahan kami ke jogja tiba, aku,ibu dan kak radit bersiap-siap mengepak
barang-barng untuk dipaketkan, sedangkan kami nanti berangkat menggunakan
kereta api, sungguh aku benar-benar tak sabar bepergian jauh bersama nya ia dia
Dijogja ternyata kak doni dan kak radit sudah mempersiapkan rumah untuk
kami tinggali lebih tepatnya untuk ibu karna sesampainya disana zida juga akan
nyantri di pesantren kak radit. sesampainya dijogja aku dibuat terkagum-kagum
dengan kota ini, benar-benar tenang, damai, sejuk dan orang nya ramah-ramah
beda dengan keadaan jakarta yang panas,penuh polusi,cenderung individualis dan
kota yang brisik. Aku pasti betah disini, dikota pelajar kota dengan tradisinya
yang kental dengan orang-orangnya yang ramah, lama tak berjumpa dengan kak
doni kini dia tumbuh menjadi laki-laki yang begitu tampan tak kusangka aku
mempunyai kakak setampan ini, mungkin efek nyantri, kak doni makin putih bersih
wajahnya bercahaya sudah dipastikan setiap cewek melihat kak doni dijamin
Kami melepas rindu dirumah baru, kak doni juga sekalian mau minta izin sama ibu
kak doni dapat beasiswa sekolah di al-azhar kairo mesir, mendengar ucapan kak
doni batinku tersentak kaget, apa??? Mesir?? Jauh sekali, sepandai itukah kakak
ku sampai-sampai mendapat beasiswa begitu, tambah iri nian aku pada kakak ku
“kamu yakin don,ibu tak sanggup mengirimimu uang lho, tau sendiri kan ibu tak
berpenghasilan banyak.” Jawab ibu yang sebenarnya juga terkejut mendengar
“insyaalloh yakin bu,tenang saja biaya kuliah dan hidup sudah ditanggung oleh
pihak pemberi beasiswa kuk,” jawab kak doni dengan penuh senyum
“ia sudah ibu hanya mampu memberi mu doa nak,smuga smua akan berjalan
baik-baik saja.” Ibu tersenyum bangga pada kami, aku bersyukur blakangan ini
ibu terus mengumbar senyum menandakan kalau hatinya sedang bahagia,itulah
harapan kak doni dan aku melihat ibu bahagia tak ada yang lebih indah dari itu.
Semua berkat kak radit, kami terangkat dari tempat kumuh itu, ibu mulai sehat
dari sakitnya, kak doni bisa sampai kuliah diluar negeri dan aku bisa merasakan
indahnya jadi santri wati dipesantren abah kak radit. Aku tak pernah berhenti
bersyukur untuk ini untuk semua senyum ini, kak doni berangkat kuliah di al-
azhar sedangkan aku harus berjuang keras untuk menyusulnya kesana, ini adalah
mimpi yang pernah ku pendam hampir kubuang malah lantas kak radit datang
dalam kehidupan ku dan kini cita-cita yang hampir tak pernah kubayangkan
benar-benar menjadi nyata. Aku mampu menyusul kak doni ke al-azhar, ibu di
jogja tidak sendiri ibu bersama mbk.tiah dan kang.halim mereka adalah pekerja
dirumah,membantu ibu dalam bisnis kuenya benar saja, orang-orang jogja juga
menyukai kue buatan ibu alhamdulilah,,,, kak radit adalah inspirasi terbesar
dalam hidupku, ucapan terimakasih tak pernah lupa kuucapkan setiap kali aku
bertemu dengan nya. Terimakasih kak radit, terimakasih ibu, terimakasih kak
doni dan terimakasih serta salam rindu untuk mu ayah.
sekian