Senin, 21 April 2014

Segenggam Harapan



Butiran mutiara itu mulai jatuh memenuhi bumi ini, perlahan lalu menempel

diatap-atap rumah,dedauanan dan diatas lautan pasir. Hanya saja mutiara

itu enggan bersatu dengan daun talas, entah apa yang membuat mereka tak

pernah mau bersatu, namun dengan begitulah embun dan daun talas terlihat

indah, butiran mutiara yang jatuh itu cukup membuat kibasan angin terasa

dingin,perlahan sang fajar mulai menampakkan kegagahannya, untuk sejenak

aku terhanyut pada cakrawala langit itu mataku menatap tajam seolah langit

menawarkan sebuah harapan yang pasti, harapan dengan akhir membahagiakan

yang dapat dikenang hingga terlelap dipusaran nya kelak. Lalu aku tengok kembali

kebelakang sebuah pintu flat yang berada di gedung paling atas bangunan

ini, orang mesir biasa menyebutnya sa’ah syutuh atau rumah atap, flat ini

menawarkan sebagian keindahan dari kota Dar eL-Malak karena setiap kali keluar

dari flat aku langsung bisa memandang panorama kota tua maupun menjelajahi

Pagi itu dingin, seperti pagi-pagi yang lalu terasa menyenangkan dan membuat

lautan pasir itu terasa lebih bersahabat dengan butiran pasirnya. Aku menghela

nafas panjang jemariku pelan menyentuh dinding kaca berembun. Dingin seketika

menyeruap diujung jari mengalir ke telapak tangan melalui pergelangan terus

menjalar ke siku, bahu, kemudian sampai pada hatiku, bagaikan sayatan pisau

Dari lantai empat ini, lantai tertinggi di flat ku, aku bisa melihat tiga toko buku

paling besar di kota ini, dua toko roti yang tak pernah sepi pengunjung apalagi

memasuki jam makan siang dan makan malam, selalu penuh dengan pengunjung

karena roti adalah makanan faforit di kota ini atau mungkin rasa rotinya yang

memang lezat. Tak mau kalah dengan toko roti, ditoko buku banyak pula orang-
orang yang berkunjung, toko di depan flatku adalah toko buku paling besar dan

paling lengkap, lantas saja jadi rujukan para pemburu buku entah membeli atau

sekedar melihat-lihat, toko itu selalu ramai.

Di flat ini pula aku bisa melihat jalan utama di kota Dar eL-Marak jalan yang

penuh lalu lalang kendaraan, namun untuk pagi ini jalan itu masih terasa sepi

hanya ada beberapa mobil yang melintas. Wajar saja waktu menunjukkan pukul

04.00 menjelang subuh , mungkin satu jam lagi akan ramai. Disisi jalan ada tiang

lampu yang sudah redup sayup-sayup seakan enggan menyala mungkin memang

sudah waktunya mengganti, tiang lampu itu ada disetiap beberapa meter

dipinggir jalan ditambah dengan tanaman yang rapi tertanam pada pot-pot yang

cukup besar yang menghiasi jalan, meskipun tak terlalu rimbun namun cukup

membuat jalan terasa lebih nyaman dan lampu putih bundar itulah yang terlihat

lebih indah ketika berbaur dengan siluet cahaya lampu mobil yang melintas.

Di sudut kamar ini aku bisa merasakan sajian keindahan yang ditawarkan kota

ini, dengan jendela kaca yang lurus menghadap jalan cukup membuatku nyaman

selama 7 tahun trakhir ini, kamar yang senantiasa menemaniku dalam setiap peluh

yang kuteteskan ketika aku mengingat sosok yang kucintai, lamunan ku pagi ini

mengantarku membuka memory masa silam yang hampir ingin ku lupakan tapi

begitu sulit, bayangan sosok ‘dia’ muncul dalam benakku perlahan mengingatkan

ku tentang bagaimana aku bisa sampai disini, dikota yang tak pernah ku

bayangkan untuk dapat menginjakkan kaki ditanah penuh barokah ini tanah para

nabi. Begitu jauh dari tanah air tercinta Indonesia, dia memberiku mimpi yang

begitu mudah untuk ku rajut dan kulakukan, dia memberi janji kehidupan yang

jauh lebih baik dia adalah alasan mengapa aku bisa bertahan di dunia ini dengan

Bagaimana kisah pertemuan ku dengan dia?

Sore itu di bus ber-merk kompaja yang kutumpangi, tiga minggu sebelum

dia mengenalku. Hujan turun deras mengguyur kota Jakarta, memaksaku

mengeluarkan suara yang lebih kencang lagi dan kakakku Doni memetik gitar

lusuhnya dengan semangat, walau sebenarnya kami leti[Ih dan lapar, namun demi

receh yang akan kami belikan obat untuk ibu dan untuk membeli sesuap nasi, itu

memaksa kami terus melakukan nya, agar ibu cepat sembuh dari sakit nya ya,,,

walau tak sembuh setidaknya mampu meringankan sakit yang dirasa ibu.

 Sore kami perlahan berganti malam entah pergi kemana soreku tadi, semua

terasa begitu cepat buat kami, masih didalam kompaja yang kunaiki tadi bersama

kakak ku,setelah slesai menyanyi kini waktunya membuka kantong bekas permen

kiss yang sudah sangat lusuh untuk menampung receh demi receh dari para

penumpang, saat ku sodorkan katong lusuh ku, ada yang benar-benar ikhlas

memberikanya ada pula yang pura-pura tidur agar tidak usah susah payah

merogoh receh dari tas mereka, sebenarnya aku tau mereka hanya menutup mata

dan tidak benar-benar tidur, tapi ya sudahlah ini sudah resiko jadi pengamen.

Tidak lama kompaja yang kami tumpangi berhenti, memaksa kami untuk turun dan

pindah ke metro mini yang lain, kini giliran bus trans yang kami naiki dan tak lama

aku berjalan dalam bus, tiba-tiba kaki ku terasa aneh, perlahan kuangakat kaki

ku untuk memastikan tak terjadi hal yang buruk pada kakiku. Ternyata dugaanku

salah ooh...Tuhan kaki ku tertancap paku dan darah segar mengalir tanpa henti

dari telapak kakiku, entah bagaimana bisa paku itu bersarang tepat dibawah

telapak kaki ku, yang jelas ini terasa sangat perih seketika itu pula aku merintih

lirih selirih mungkin berharap kak Doni tak mendengar rintihanku.

“aduuuh,,,’ (lirih ku berucap) namun percuma aku berusaha tak terlihat kesakitan

tetapi kak doni tetap melihat raut wajah ku yang pucat pasi karena menahan

sakit, bukan karena mendengar rintihanku.

“dek,kamu kenapa kuk pucet bgitu,uda capek ya?” kak doni bertanya sambil

menoleh ke arah ku, tak tahan aku menahan rasa sakit jujur saja aku bilang sama

“kaki ku kak tiba-tiba sakit,” jawabku lirih

“mana kak doni liat,”(sambil mengangkat kaki kiri ku) “wah ini kena paku dek

darahnya banyak sekali tahan sebentar ya, habis pemberhentian didepan kita

Orang-orang disekitar kami hanya menoleh tak peduli, seakan acuh dengan

keberadaan kami, yang lebih tepatnya mungkin keberadaan kami meganggu

kenyamanan mereka saat naik bus. Tapi tak lama kemudian dari arah belakang

ada seorang laki-laki yang berpenampilan rapi, serapi orang yang bekerja

dikantor, terang saja mana ada buruh pabrik berdasi dan serapi itu sungguh

mustahil bukan, jadi ku ambil kesimpulan dia adalah orang kantoran yang baru

pulang kerja, postur tubuh yang tinngi wajah yang diatas rata-rata dan bisa

dibilang ganteng ditunjang dengan penampilan serapi itu sungguh dia benar-benar

menawan, dia memanggil kami dan perlahan mendekat.

“dek,,,tunggu”? dia berteriak memberi pertanda agar kami berhenti

“kakak ini mau apa?” tanya kak doni

“boleh kakak liat kaki adekmu,kakak hanya ingin obati kaki adik mu itu,tadi kakak

liat kakinya berdarah, tidak lama kuk mungkin hanya 5 menit saja,”?tanya nya

Ternyata ada saja orang yang peduli mau memperhatikan kami. Sejenak kak

doni berpikir sebelum mengiyakan permintaan kakak rapi itu, mungkin kak doni

berfikir tak apalah orang ini membantu adikku dari pada nanti lukanya makin

“ia kak boleh,tapi mau diapain kaki adikku?

“sini duduk dulu” pintanya padaku, aku mengikuti titahnya dalam situasi seperti

ini aku tak bisa berfikir macam-macam kecuali rasa sakit yang ku rasakan malam

ini. Dia menyiramkan sebotol air mineral pada kaki ku dengan perlahan kemudian

mengambil sapu tangan dari saku baju nya lantas melilitkannya pada kaki ku yang

tertusuk paku, seketika berkurang rasa perih yang ku rasakan,, huuuft lega

“sudah tidak terlalu sakitkan? Tanyanya padaku, yang saat itu sudah mulai bisa

tersenyum karena berkurang nya rasa sakit.

“ia kak,” aku mengangguk mengiyakan,

“boleh tau nama adek-adek ini siapa dan umur berapa?

Kakak ku memperkenalkan diri pada kakak rapi yang menolongku, “Doni Ardianto

umur 13 tahun dan adek ku ini bernama Zida Salsabilla 9 tahun,” bgitulah kak

“nama yang bagus,” kakak rapi itu tersenyum dan memuji nama kami kemudian

lanjut bertanya “adek ini mau turun mana,biar kakak antar pulang, ini sudah

sangat larut malam bahaya kalo anak-anak diluar rumah pada jam sgini? Pintanya

Dia benar-benar menjadi malaikat kami pada malam itu, dengan baik hati

mengobati kakiku dan mengantar kami pulang ke rumah, lebih tepatnya bukan

rumah tapi gubuk karena berada persis dibawah jembatan yang hanya beralaskan

kardus bekas dan spanduk sisa kampanye para tetinggi dewan perwakilan

rakyat (DPR), yang rakyat kecil seperti kami hanya mampu menerima janji-janji

manisnya dan spanduk bekas mereka, lumayan dari pada hanya omong kosong yang

kami terima spanduk ini jauh lebih bermanfaat bagi kami sebagai alas tidur.

Kakiku memang belum sembuh benar tapi aku sudah memaksakan diri untuk

membantu kak doni untuk mengais rejeki di ibu kota dengan gitar lusuhnya, kak

doni dan ibu sudah melarang ku untuk tidak ikut mengamen siang itu, melihat

kakiku yang belum sembuh benar mereka takut nanti jadi tambah parah jika aku

tidak mau istirahat dirumah, sebenarnya yang mereka takutkan bukanlah kaki ku

yang terluka tapi, uang dari mana untuk pengobatan andaikan kakiku tak kunjung

sembuh malah jadi tambah parah, untuk makan saja kami kesusahan, bahkan

adakalanya kami puasa, hampir lebih sering kami puasa dari pada tidak, apalagi

untuk hal-hal yang lain sungguh kami tak sanggup. Dengan penuh antusias aku

meyakinkan mereka kalau kakiku sudah tak terlalu sakit lagi, aku bisa membantu

Empat tahun lalu kehidupan keluarga kami tidak seburuk ini aku mempunyai ayah

dan kehidupan yang bahagia, saat ayah masih hidup kami tak perlu susah payah

untuk mengamen dari bus ke bus, dari lampu merah satu ke lampu merah yang lain

nya. Semua tak akan terjadi jikalaulah ayahku masih hidup, ayah adalah seorang

pengusaha properti yang lumayan berhasil pada waktu itu, tapi karena persaingan

pasar dan ayah tertipu oleh rekan bisnisnya kami mengalami kebangkrutan yang

luar biasa, rumah beserta isinya disita oleh pihak bank ayah tak lagi mempunyai

pekerjaan, aku dan kak doni berhenti dari sekolah dan kami pun pindah dari

rumah kami sendiri secara tidak terhormat, andaikan waktu pengusiran itu usia

ku sudah cukup dewasa kupastikan mereka menerima bogeman(tonjokan) dari

tangan ku, sayang sekali waktu itu kak dony masih berumur 9 tahun sedangkan

aku 5 tahun, aku belum terlalu paham dengan masalah yang ada waktu itu.

Dengan uang seadanya ayah dan ibu mengontrak rumah di daerah padat

penduduk, rumah yang tak begitu besar hanya ada tiga ruangan didalam nya satu

kamar tidur, satu kamar mandi dan ruang tamu sekaligus dapur. Tak begitu buruk

untuk takaran rumah padat penduduk rumah ini cukup nyaman untuk melepas

lelah dan berteduh dari terikanya matahari kota jakarta.

Kami memulai kehidupan baru tidak dengan kemewahan akan tetapi dengan

kesederhanaan, ayah mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan sedangkan ibu

buruh cuci dirumah tetangga, aku dan kak doni pindah sekolah di daerah sekitar

rumah yang kami kontrak, ayah tak pernah putus asa, selalu tersenyum dan ikhlas

menerima semua cobaan, begitu juga ibu selalu menghibur kami tatkala jenuh

melanda, terkadang bosan rasanya hanya berdiam diri dirumah tanpa hiburan

bahkan tv saja kami tak punya, aku sering mengeluh bertanya kepada ayah kapan

kita pulang kerumah?... dan ayah selalu menjawab dengan sabar pasti pulang

dek... nanti kalo ayah sudah punya banyak uang kita beli rumah yang jauh lebih

besar dari rumah kita dulu, beli boneka yang banyak yang dedek suka lantas ayah

menceritakan banyak cerita lucu untuk menghibur kami itu salah satu cara ajiab

ayah untuk membuat anak-anak nya tersenyum.

Dua tahun berlalu kami hidup di kontrakan, ayah mulai sakit-sakitan tidak mampu

lagi untuk bekerja kasar kami hanya mengandalkan ibu, mulai dari beli obat

untuk ayah,makan untuk kami dan biaya sekolah aku dan kak doni semua ibu yang

menanggungnya sungguh ibu yang luar biasa. Perlahan sakit itu menggerogoti

tubuh ayah lambat laun ayah tak sanggup lagi untuk menahan rasa sakit itu,

ayah enggan untuk dirujuk ke R.S dengan alasan biaya. Sudah jelas ayah tak mau

merepotkan ibu lebih dalam lagi, ayah sudah merasa cukup membuat ibu banting

tulang setiap hari biarlah Tuhan yang menyembuhkan ujar ayah suatu ketika,

melihat keadaan ini aku merasa sangat sedih berharap ayah lekas sembuh dan

bisa bercerita lagi seperti sewaktu sehat dulu ya,,, walaupun saat sakit seperti

ini ayah tetap memberikan cerita lucunya akan tetapi terasa kurang.tak lama

Ayah ku meninggal itulah jawaban dari Tuhan untuk semua doa-doa ku ayah ingin

istirhat disisi Tuhan, tak ingin melihat ayah ku menahan sakit terlalu lama lantas

Tuhan mengambilnya itulah hak veto yang dimiliki oleh Tuhan, tak ada yang tau

umur manusia kecuali Tuhanya. Kehidupan ini begitu berat ku jalani tanpamu

ayah, perlahan ibu juga mulai sakit-sakitan tak mampu bekerja seperti dulu, ibu

tak sanggup lagi membayar kontrakan ibu memilih pergi meninggalkan kontrakan,

kami pergi tanpa tujuan yang jelas, selama kami tak memiliki rumah dan pergi

dari kontrakan kami tidur di emperan toko, mengais rejeki dengan mencari

sampah, dari tempat sampah di depan rumah-rumah, toko-toko dan TPS (tempat

pembuangan sampah) bahkan makan pun kami mengambilnya dari tong sampah

sungguh ironis memang kehidupan kami kala itu, sampai kami menemukan tempat

untuk tidur yaitu di bawah kolong jembatan tidak hanya kami tapi ratusan orang

lainya yang tidak jauh senasib dengan kami tak sanggup membeli rumah atau

bahkan menyewa kontrakan sudah dipastikan kami tak sanggup. Jalan alternatif

yang sangat murah adalah dibawah jembatan walau dengan berbagai resiko, dari

diusir paksa oleh satpol pp, tempat ini juga sudah jelas sarang penyakit, teramat

kumuh, sampai waktu hujan datang bisa dipastikan pula tempat ini tak ada yang

utuh smua lenyap tersapu air banjir atau sekedar terkena tetesan air dari langit

akan membuat semua yang ada hilang karna memang tempat kami berteduh hanya

dilindungi oleh kardus bekas saja.

Kehidupan baru ku dimulai kembali bukan sebagai bangsawan atau warga biasa

akan tetapi sebagi pemulung, sekolah ku dan kakdoni dipastikan berhenti, saat itu

kak doni kelas 5 SD dan aku kelas 1 SD kehidupan semakin keras memaksa kami

untuk melakukan segala cara untuk bertahan hidup membuang jauh-jauh cita-
cita tinggi kami dan membuang rasa malu. Malu???? Sudah lenyap dari diri kami

mempertahankan rasa malu mungkin kami tidak akan makan barang sesuap nasi

sekalipun, ayah pernah berpesan padaku dan kak doni untuk tidak malu melakukan

apapun kecuali hal itu merugikan orang lain serta selama kita tidak mencuri.

Jangan pernah malu untuk hal baik, lebih mulia kita makan dari tong sampah dari

pada makan uang haram seperti para koruptor itu, berdasi tapi makanan nya

makanan haram semua. Aku ingat cerita itu dari ayah sungguh ayah memang luar

Dan sampailah aku bertemu dengan kakak rapi itu kakak yang menjadi malaikat

kami pada malam itu, kak Radit ya... naman lengkapnya Raditya Al-Farabi, nama

yang modren plus islami begitu indah seindah wajah dan hati nya benar-benar

sempurna. Sejak kejadian dalam metro mini itu kak Radit rutin mengunjungi kami

di gubuk reot ini dengan membawa makanan yang enak dan membawa buku-buku

cerita untuk kami baca alhasil aku dan kak doni sangat bahagia, lama kami tak

memegang buku, maklum saja tak ada waktu untuk itu kami sibuk dengan gitar

dan kencrengan masing-masing, dan sekarang kak Radit datang memberi kami

kebahagiaan dan harapan baru itu, kak Radit memberi usul kepada ibu untuk

menyekolahkan kami kembali kak Radit yang akan menanggung semua biaya nya

ibu hanya menangis haru mendengar kak Radit bertutur seperti itu.

Pagi itu aku dan kak doni mandi membersihkan diri dari debu-debu kota

jakarta,aku dan kak doni memang jarang mandi karna air dijakarta mahal lebih

baik buat beli makanan uang nya dari pada dibuang-buang untuk skedar mandi

saja, sedangkan ibu sibuk menyiapkan pakaian terbagus kami ya,, walaupun

sudah bertahun-tahun lalu belinya dan dipakai tatkala ada acra peting saja, tapi

sungguh itu baju paling bagus yang kami miliki, memang benar hari ini hari spesial

buat ku dan kak doni. Karena kami akan daftar sekolah dan belanja peralatan

sekolah semua biaya ditanggung kak Radit, aku dan kak doni luar biasa bersyukur

telah dipertemukan dengan kak Radit. Waktu itu kak doni masuk kelas 1 SMP

sedangkan aku kelas 4 SD sekolah kami berdampingan tak begitu jauh jadi

setiap pagi kami berangkat bersama-sama aku adalah murid yang pandai dulu

sewaktu masih sekolah kak doni juga selalu jadi juara kelas dijamin tidak rugi

jika membiayai kami untuk sekolah, kak Radit juga mengusulkan aku dan kak

doni untuk mengaji agar kami tidak hanya pandai umum tetapi agama juga, tapi

sayang dilingkungan kami tidak ada tempat buat mengaji aku dan kak doni mau-
mau saja, lantas kak Radit mengusulkan untuk pindah mengotrak rumah dan lagi

lagi kak Radit yang membiayai nya. Kami pindah dari lingkungan kumuh itu, kami

mengontrak sebuah rumah, kehidupan ku dimulai kembali kini aku dan kak doni

bersekolah dan mempunyai tempat yang layak untuk tinggal, kak Radit melarang

kami untuk mengamen, kak Radit memberi modal ibu untuk berjualan kue jadi

tugas ku dan kak doni adalah menjual kue-kue hasil buatan ibu ke tetangga dan

kue-kue itu juga dititipkan diwarung-warung deket rumah, kehidupanku membaik

perlahan tapi pasti smua berkat kak Radit, aku bahagia....

Sekolah lancar,kue buatan ibuku juga berkembang pesat penjualannya bahkan

kami menerima pesanan untuk pernikahan atau acara lain nya, benar saja kue

buatan ibu ku enak sekali, waktu kami pergunakan dengan sebaik-baik nya, pagi

hari kami brangkat sekolah skaligus membawa kue buatan ibu untuk dititipkan di

warung-warung, siang hari pulang sekolah skaligus mengambil uang hasil penjualan

kue sore harinya kami mengaji dimasjid deket kontrakan dan malam harinya kami

belajar, sibuk memang tapi kami bahagia. Malam itu kak Radit datang berkunjung

ke kontrakan, kami berbincang-bincang hingga larut malam.

Kak Radit menceritakan banyak hal termasuk tentang kehidupan nya ternyata

kak Radit tumbuh besar dilingkungang pesantren abahnya mempunyai pondok dan

skaligus menjadi pemimpinya, tak heran namanya modren skaligus islami Raditya

Al-Farabi yang membuat ku heran kuk bisa seorang gus jauh dari pesantren,

umumnya kan seorang gus berada dipesantren mengurusi santri nya bergulet

dengan smua yang berbau dengan agama, sedangkan kak Radit dia malah asyik

dengan dunianya jauh dari pesantren hidup dikota besar dan bekerja dikantor.

Kak Radit memang berbeda dari kebanyakan gus-gus yang ada, dia tidak

membanggakan nama abah nya sebagai seorang Kiayi besar yang semua santri

harus tunduk padanya dan memanggil nya dengan gelar Gus, Gus Radit, dia tidak

mengharapkan gelar itu yang dia harapkan santri-santri abah nya yang menimba

ilmu dipesantren dapat mengaplikasikan semua ilmu yang didapatkannya dalam

kehihupan dengan sebaik-baiknya, prinsip hidup kak Radit memang keren, aku

salut dengan kepribadian kak Radit. Walau jauh dari lingkungan pesantren akan

tetapi kak radit tetap menjunjung tinggi nilai agama, sholat lima waktu tak

pernah putus, puasa senin kamis, sholat sunah lainya juga rajin sekali apalagi

waktu mengaji/qira’at merdu sekali suaranya, kak Radit dijakarta juga punya

kegiatan bersama teman-teman nya mencerdaskan bangsa tidak dari pelajaran

umum saja tetapi agama juga penting itu kata kak Radit, makanya kak Radit

nyuruh aku dan kak Doni buat rajin-rajin buat mengaji biar makin lancar. Kak

radit beserta teman-temannya mendirikan rumah singgah buat para anak

jalanan,pengamen dan pengemis, di rumah singgah itu mreka diajari tentang

banyak hal dari ketrampilan mendaur ulang barang-barang bekas, diajari seni

musik, diajari baca-tulis dan yang penting diberi siraman rohani, blajar

mengaji,sholat,puasa dan apapun yang menyangkut tentang agama. Umur kak

Radit waktu itu 26 tahun kak doni 15 tahun dan aku 13 tahun, kak doni lulus SMP

dengan nilai yang paling bagus waktu itu kak radit amat bangga padanya, tentang

bagaimana kelanjutan sekolah kak doni. Kak radit mengusulkan untuk nyantri dan

“memang nya ada kak? Mondok sambil sekolah?” tanya kak doni

“ada kuk,kamu mondok dipesantren abah kak radit saja di jogja biar nanti smua

keperluan pindah yang mengurus kak radit, kurang dua tahun lagi Zida juga lulus

bisa nyusul kamu ke pesantren,ibu juga nanti bisa ikut pindah ke jogja, kakak

jamin doni pasti betah, bgaimana doni mau?.”

“deal, doni setuju kak.” Mantap kak doni menjawab, aku benar-benar bertemu

malikat mu Tuhan bagaimana bisa ada orang sebaik ini di dunia, ya Allah smuga

engkau benar-benar melindunginya amin (doaku dalam hati).

Sewaktu kak doni lulus SMP aku baru kelas 1 SMP, kak doni berangkat ke jogja

untuk nyantri dan meneruskan sekolanya, di Jakarta tinggallah aku dan ibu saja,

berat memang harus melepas kak doni pergi tapi ini demi masa depan kak doni

dan masa depan kami. Kehidupan kami berjalan seperti biasanya walau sedikit

sepi tanpa kehadiran kak doni, pekerjaan yang biasa kulakukan bersama kak doni

kini kukerjakan seorang diri, kak doni rutin mengirim surat buat kami sepertinya

kak doni benar-benar menikmati masa-masa nyantrinya di jogja dari semua

surat yang dia kirim hampir semua menceritakan kebahagiaan nya disana. Walau

tergambar jelas kesedihan karena jauh dari kami,ya...kak doni merindukan kami,

kak doni bercerita waktu buat tidur sedikit sekali semua diisi dengan kegiatan,

Dari bangun pukul 03.00 dini hari untuk melakukan sholat tahajut dan hafalan

ayat-ayat suci al-qur’an diteruskan sampai subuh menjelang untuk sholat subuh

berjamaah, kemudian mengaji kitab sampai pukul 06.00 kemudian siap-siap

untuk berangkat sekolah sampai jam 14.00 sholat dzuhur dilakukan dimadrasah

sepulang sekolah makan kemudian berangkat kembali untuk ngaji kitab sampai

ashar tiba kemudian sholat berjamaah, lantas setoran hafalan yang dilakukan

subuh tadi magrib tiba sholat berjmaah kembali,selepas isya’ kak doni baru bisa

belajar pelajaran sekolah, kak doni terhitung murid yang pandai dan cerdas

disekolah maupun dipesantren begitulah isi surat kak doni begitu detail semua

kegiatan kak doni membuatku iri terang saja aku iri kak doni terus belajar dan

belajar sedangkan aku harus kerja keras bantuin ibu, tapi tak apalah tunggu saja

zida pasti segera menyusul kak doni dan akan jauh lebih pandai dari kak doni

(batinku berjanji ), kak radit juga sering jenguk kak doni di pesantren waktu kak

radit pulang dari jogja pasti bawain surat dari kak doni, karena memang selama 2

tahun disana kami tak pernah menjenguk kak doni, kata kak radit tak perlu, doni

baik-baik saja disana ibu dan zida dijakarta saja kalo ada rejeki disempen nanti

buat pindahan ke jogja ujar kak radit, ibu dan aku mengiyakan saja aku tau semua

yang dipilihkan untuk kami adalah yang terbaik.

Waktu tak terasa begitu cepat berlalu kini usia ku sudah 15 tahun dan aku sudah

lulus SMP tak mau kalah dengan kak doni nilai ujian ku juga tertinggi disekolah

waktu itu, kini saatnya aku dan ibu nyusul kak doni ke jogja. Tak sabar menunggu

hari kepindahan kami ke jogja tiba, aku,ibu dan kak radit bersiap-siap mengepak

barang-barng untuk dipaketkan, sedangkan kami nanti berangkat menggunakan

kereta api, sungguh aku benar-benar tak sabar bepergian jauh bersama nya ia dia

Dijogja ternyata kak doni dan kak radit sudah mempersiapkan rumah untuk

kami tinggali lebih tepatnya untuk ibu karna sesampainya disana zida juga akan

nyantri di pesantren kak radit. sesampainya dijogja aku dibuat terkagum-kagum

dengan kota ini, benar-benar tenang, damai, sejuk dan orang nya ramah-ramah

beda dengan keadaan jakarta yang panas,penuh polusi,cenderung individualis dan

kota yang brisik. Aku pasti betah disini, dikota pelajar kota dengan tradisinya

yang kental dengan orang-orangnya yang ramah, lama tak berjumpa dengan kak

doni kini dia tumbuh menjadi laki-laki yang begitu tampan tak kusangka aku

mempunyai kakak setampan ini, mungkin efek nyantri, kak doni makin putih bersih

wajahnya bercahaya sudah dipastikan setiap cewek melihat kak doni dijamin

Kami melepas rindu dirumah baru, kak doni juga sekalian mau minta izin sama ibu

kak doni dapat beasiswa sekolah di al-azhar kairo mesir, mendengar ucapan kak

doni batinku tersentak kaget, apa??? Mesir?? Jauh sekali, sepandai itukah kakak

ku sampai-sampai mendapat beasiswa begitu, tambah iri nian aku pada kakak ku

“kamu yakin don,ibu tak sanggup mengirimimu uang lho, tau sendiri kan ibu tak

berpenghasilan banyak.” Jawab ibu yang sebenarnya juga terkejut mendengar

“insyaalloh yakin bu,tenang saja biaya kuliah dan hidup sudah ditanggung oleh

pihak pemberi beasiswa kuk,” jawab kak doni dengan penuh senyum

“ia sudah ibu hanya mampu memberi mu doa nak,smuga smua akan berjalan

baik-baik saja.” Ibu tersenyum bangga pada kami, aku bersyukur blakangan ini

ibu terus mengumbar senyum menandakan kalau hatinya sedang bahagia,itulah

harapan kak doni dan aku melihat ibu bahagia tak ada yang lebih indah dari itu.

Semua berkat kak radit, kami terangkat dari tempat kumuh itu, ibu mulai sehat

dari sakitnya, kak doni bisa sampai kuliah diluar negeri dan aku bisa merasakan

indahnya jadi santri wati dipesantren abah kak radit. Aku tak pernah berhenti

bersyukur untuk ini untuk semua senyum ini, kak doni berangkat kuliah di al-
azhar sedangkan aku harus berjuang keras untuk menyusulnya kesana, ini adalah

mimpi yang pernah ku pendam hampir kubuang malah lantas kak radit datang

dalam kehidupan ku dan kini cita-cita yang hampir tak pernah kubayangkan

benar-benar menjadi nyata. Aku mampu menyusul kak doni ke al-azhar, ibu di

jogja tidak sendiri ibu bersama mbk.tiah dan kang.halim mereka adalah pekerja

dirumah,membantu ibu dalam bisnis kuenya benar saja, orang-orang jogja juga

menyukai kue buatan ibu alhamdulilah,,,, kak radit adalah inspirasi terbesar

dalam hidupku, ucapan terimakasih tak pernah lupa kuucapkan setiap kali aku

bertemu dengan nya. Terimakasih kak radit, terimakasih ibu, terimakasih kak

doni dan terimakasih serta salam rindu untuk mu ayah.

sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar